WHO bahkan menyatakan bahwa predaran obat palsu sudah menjadi epidemic di asia tenggara, termasuk Indonesia. WHO memperkirakan predaran obat palsu mencapai 25%. Celakanya lagi masyarakat lebih memilih obat kimia dari pada herbal dan memilih obat yang palsu dari pada yang tulen data ini hasil survai Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat UI.
Hasil survai tersebut menunjukan bahwa sebanyak 77% dari 257 responden mengaku membeli obat palsu karena pertimbangan harga yang lebih murah.
Persoalan lainya adalah kadang seorang dokter menuliskan resep obat kepada konsumen kadang tidak di beri pilihan oleh dokter dan hanya ikut dengan apa yang di resepkan oleh dokter, meskipun ada aturan DEPKES yang mewajibkan doctor menuliskan resep generiknya dan nyatanya tidak berjalan dengan baik, selain karna dokter menjalin hubungan simbiosis mutualisme dengan produsen obat,konsumen juga kurang kritis kepada dokter.
Banyak dokter yang menuliskan resep obatnya tanpa memandang ekonomi pasienya menuliskan obat yang bermerk meski ada obat alternatifnya dengan alasan bahwa itu obat untuk kesembuhan pasienya. Kebanyakan pasien tidak bersikap aktif apalagi kritis menghadapi dokter di ruang priksa. Hal ini di karenakan etidak tahuan pasien dalam hal penyakitnya.
Dr. Marius Widjajarta,SE, ketua Yayasan pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), menyarankan agar menjadi konsumen yang pintar. “mintalah obat generic ketika kita berobat ke dokter” dan jika dokter tersebut tdak member informasi dengan jelas dan benar maka dokter tersebut telah melangar UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Dan jangan lupa untuk terus bertanya tentang apa yang belum kita tau atau pahami, baik tentang obat atau pun tentang penyakit kepada dokter. UU No.8 thn 1999, tentang perlindungan konsumen mengguraikan apa saja hak-hak pasien yaitu:
- Hak untuk informasi yang benar,jelas dan jujur
- Hak untuk jaminan keamanan dan keselamatan
- Hak untuk ganti rugi
- Hak untuk didengar
- Hak untuk mendapatkan advokasi
- Hak –hak yang telah diatur oleh perundang-undangan
Termahal di dunia
Beberapa waktu lalu, Mentri Kesehatan RI, DR.Dr. Siti Fadilah Supari.spJP(K), mengakui bahwa harga obat di Indonesia termahal di dunia. Beliau mengatakan bahwa harga obat menjadi mahal karena ulah para mafia obat.
Karena itu pemerintah menerbitkan SK Menkes RI No. 1010/MENKES/PER/XI/2008 tanggal 3 november 2008 tentang regesrasi obat dan peredaranya di Indonesia. Registrasi obat impor hanya boleh di lakukan oleh industry farmasi dalam negri yang mendapat persetujuan tertulis dari industry farmasi luar negri.
Pemerintah tak hanya diam melihat hal ini, salah satu langkah pentingnya ialah melakukan rasionalisasi harga obat, dan hal ini telah di lakukan pemerintah 2 tahun lalu dengan menerbitkan Menkes RI No.069/Menkes/SK/II/2006 yang mewajibkan pencantuman hargaeceran tertinggih pada kemasan obat. Pencantuman HET tersebut bertujuan untuk menginformasikan harga obat yang teransparan kepada masyarakat.
Selain itu, bersama dengan gabungan pedagang farmasi, pemerintah juga telah menyepakati harga obat generik bermerek yang besarnya maks 3 kali lipat dari obat generic biasa. Untuk menyediakan obat yang terjangkau oleh masyarakat, sejak 2 tahun lalu pemerintah meluncurkan obat murah dengan harga Rp1000. Ada 10 obat yang diluncurkan oleh pemerintah dan merupakan obat-obat bebas seperti obat batuk,pilek,flu,asma dan lainya, namun sayangnya kebijakan di atas kurang efektif akibat minimnya pengawasan dan ketegasan pihak berwenang.
Siti Fadilah juga mengungkapkan pemerintah telah menerapkan berbagai program ksehatan untuk rakyat diantaranya adalah dengan jaminan kesehatan masyarakat serta pembangunan desa siaga. Walau demikian dia mengaku bahwa masih ada rumah sakit yang menolak orang miskin, hal ini di karenakan kebijakan yang tak tepat. “programnya sudah benar tetapi penerapanya yang salah,”kata dia kepada wartawan. Dan kini memang obat adalah hal paling penting ketika kita sakit, pilihlah obat yang benar-benar berguna dan multi fungsi
No comments:
Post a Comment